Minggu, 11 Desember 2011

Konsep dan Hakikat Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tasawuf merupakan satu cabang ilmu keislaman yang sudah diakui kebenarannya. Dari segi penamaan, ia ternyata baru muncul dalam dunia Islam. Namun hakikatnya tasawuf itu sudahpun wujud di zaman Nabi s.a.w. dan lebih dikenali dengan nama ilmu ihsan, ilmu nafi`, ilmu batin atau ilmu di dalam hati (fi al-qalb). Nama tasawuf hanya mula muncul di zaman pengkelasan ilmu. Ilmu ini semakin hari semakin dipinggirkan, bahkan ia merupakan ilmu yang mula-mula akan pupus dari jiwa manusia. Mengenai ilmu ini `Ubadah bin Samit menjelaskan “sekiranya engkau ingin tahu, akan aku khabarkan kepadamu ilmu yang mula-mula diangkat dari manusia, yaitu al-khusyu`”. Tulisan ini akan menjelaskan mengenai ilmu tasawuf tersebut dengan memberikan tumpuan kepada konsep dan hakikat tasawuf dalam Islam.

1.2 Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka muncul tugas penulis untuk menjelaskan lebih jauh tentang ilmu tasawuf.
Karenanya penulis memberikan batasan masalah atas perincian bab, yakni :
   1. Apa pengertian tasawuf ?
   2. Bagaimana Konsep dan Hakikat Tasawuf ?
 

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Tasawuf

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.

2.2 Konsepi Tasawuf

              Konsepsi tasawuf menurut HAMKA adalah “tidak ingin,” dan “tidak demam” kepada dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat. Dengan demikian, maka seorang yang zahid adalah orang yang hatinya tidak terikat oleh materi. Ada atau tidak adanya materi adalah sama saja, stabil dalam kehidupannya. Namun tentu saja secara pisik tetap bergelimang dengan materi, karena ia sebagai makhluk yang mempunyai dua dimensi, rohani dan jasmani.
Dari paradigma di atas maka konsepsi tasawuf dapat menjawab permasalahan di atas. Yaitu dengan jalan meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai harta kekayaan produktif. Zuhud juga dapat melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat. Di samping itu, dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki) tawakkal (pasrah kepada Allah Swt.), wara’ yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadan dirinya baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

2.3 Hakikat Tasawuf
           
            Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu  berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
Kaum sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan” (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimplan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahawa tasawuf itu sebenarnya merupakan pencapaian martabat ihsan yang merupakan jiwa agama. Ia adalah satu dari tiga tunggak utama agama Islam. Pencapaian martabat ini bukan sahaja memperteguhkan hubungan seseorang itu dengan Tuhannya dalam bentuk peningkatan nilai keimanan, ibadah dan akhlak, malah juga hubungannya dengan sesama manusia dalam bentuk kewujudan rasa hormat menghormati, tanggungjawab dan keharmonisan muamalah.

3.2 Saran

Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia biasa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.



















DAFTAR PUSTAKA


Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1969) h. 28

Ibrahim Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir, 1119), h. 9

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf (Dirasah Islamiyah IV)(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 153














Tidak ada komentar:

Posting Komentar