Minggu, 11 Desember 2011

Linguistik Umum "Bahasa dan Faktor Luar Bahasa"

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Objek kajian linguistik tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai sistim komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya; bahasa keseharian manusia; bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris disebut denganan ordinary languageatau a natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.

B. Tujuan Penulisan
Yaitu, agar tulisan dari makalah ini diharapkan mampu memiliki kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis diharapkan tulisan dari makalah ini menambah khazanah teoritis keilmuan Linguistik Umum dan secara praktis diharapkan Tulisan dari  makalah ini menambah pengetahuan, wawasan dan keilmuan bagi penulis maupun bagi pembaca.

 
BAB II
PEMBAHASAN


2.1 PENGERTIAN BAHASA

Kata bahasa dalam bahasa indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian.Sebagai objek kajian linguistik,parole merupakan objek kongkret yang berwujud ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat bahasa. Fungsi bahasa adalah alat komunikasai bigi manusia.Djoko Kenjono dan Kridalaksana mengemukakan”Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama berkomunikasi dan mengidintifikasa diri”.

2.1 BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA
2.2.1 Masyarakat Bahasa
a. Bahasa Komunikasi Sosial Sebagai
Secara objektf hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks.
Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan nantara tata permainan satu dengan lainnya tidak dapat dintentukan dengan suatu aturan yang bersifat umum. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan adakalanya terdapat sutau kemiripan, dan hal ini sulit ditentukan secara secara definitif dan pasti. Meskipun orang tidak mengetahui secara persis sebuah permainan bahasa tertentu, namun ia mengetahui apa yang harus diperbuat dalam suatu permainan. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan hakikat bahasa dalam kehidupan manusia dapat dilaksanakan dengan melakukan suatu deskripsi serta memberikan contoh-contoh dalam kehidupan manusia yang digunakan secera berbeda.
Sebagian orang berpendapat bahwa bahasa sebagai sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain; sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa indera kita (pencitraan). Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Pandangan di atas, merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan daripada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan.
Perhatian terhadap kelompok-kelompok minoritas ini sekarang telah menjadi betapa penting dengan adanya kontak antarbudaya, namun diasumsikan bahwa komunikasi antabudaya itu sangat sulit. Hal ini disebabkan karena jika bahasa sebagai sistem bunyi gagal mengendap dalam kantong-kantong budaya, maka masyarakat pun gagal untuk memahami dan dipahami dalam konteks komunikasi antarbudaya.
Dari pernyataan diatas dapat dirtarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan salah satu alat untuk mengadakan interaksi terhadap manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Dengan adanya bahasa kita kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat.
Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat komunikasi. Bagi Sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang fungsinya menyampaikan pikiran saja dianggap terlalu sempit. Chaer (2004:15) berpendapat bahwa fungsi yang menjadi persoalan Sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan tersebut pada intinya bahwa fungsi bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
Adapun penjelasan tentang fungsi-fungsi bahasa tersebut adalah sebagai berikut:
1. Segi penutur
Dilihat dari segi penutur maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya, bukan hanya menyatakan sikap lewat bahasa tetapi juga memperlihatkan sikap itu sewaktu menyampaikan tuturannya, baik sedang marah, sedih, ataupun gembira.
     
      2. Segi pendengar
Dilihat dari segi pendengar maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini, bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan hal sesuai dengan keinginan si pembieara

     3. Segi topic
Dilihat dari segi topik maka bahasa itu berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya.
   
    4. Segi kode
Dilihat dari segi kode maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik, yaitu bahasa digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri, seperti pada saat mengajarkan tentang kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa yang dijelaskan dengan menggunakan bahasa.

    5. Segi amanat
Dilihat dari segi amanat yang disampaikan maka bahasa itu berfungsi imaginatif, yakni bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan (baik sebenarnya maupun khayalan/rekaan).

b. Masyarakat Bahasa
Dalam sosiolinguistik Dell Hymes tidak membedakan secara eksplisit antara bahasa sebagai sistem dan tutur sebagai keterampilan. Keduanya disebut sebagai kemampuan komunikatif (communicative competence). Kemampuan komunikatif meliputi kemampuan bahasa yang dimiliki oleh penutur beserta keterampilan mengungkapkan bahasa tersebut sesuai dengan. fungsi dan situasi serta norma pemakaian dalam konteks sosialnya.
Kemampuan komunikatif yang dimiliki individu maupun kelompok disebut verbal repertoire. Jadi verbal repertoire dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu verbal repertoire yang dimiliki individu dan yang dimiliki masyarakat. Jika suatu masyarakat memiliki verbal repertoire yang relatif sama dan memiliki penilaian yang sama terhadap pemakaian bahasa yang digunakan dalam masyarakat disebut masyarakat bahasa.
Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat, masyarakat bahasa dibedakan menjadi tiga, yaitu
1. Masyarakat monolingual (satu bahasa)
2. masyarakat bilingual (dua bahasa)
3. masyarakat multilingual.(lebih dari 2 bahasa)

c. Variasi dan status Sosial Bahasa

Bahasa itu bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa itsangat beragam dan bahasa itu sendiri digunakan untuk keperluan yang beragapula. Berdasarkan penuturnya kita mengenal adanya dialek-dialek baik dialeregional maupun dialek sosial.
Ada dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang pertama adalah variasi bahasa tinggi (variasi bahasa Tvariasi T digunakan dalam situasi-situasi resmi, seperti pidato kenegaraan bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah dan lain-lain. Variasi T per dipelajari melalui pendidikan formal di sekolah-sekolah. Yang kedua adalah variasi bahasa rendah (variasi bahasa R). variasi R digunakan dalam situasi yang tidak formal seperti di rumah, warung, catatan sendiri, dll. Variasi R langsung dipelajari dari masyarakat umum, dan tidak pernah dalam pendidikan formal.


BAB III
KESIMPULAN

Demikianlah, telah dibicarakan ciri-ciri bahasa yang dapat dianggap sebagai sifat hakiki bahasa yang fundamental. Bahasa memiliki sistem, lambang, bunyi dan bersifat arbiter. Bahasa juga mempunyai makna, bersifat konvensional, unik, universal, produktif, dinamis dan bervariasi. Adapun fungsi bahasa sebagai alat interaksi sosial dan sebagai identitas penuturnya.

Masyarakat bahasa artinya sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama.

Variasi dan status sosial bahasa Bahasa itu bervariasi karena anggota masyarakat penutur bahasa sangat beragam dan bahasa digunakan untuk keperluan yang beragam. Diglosia: perbedaan variasi bahasa T dan bahasa R, masyarakat yang mengadakan perbedaan disebut masyarakat diglosis.



DAFTAR PUSTAKA


Ardiana, Leo Indra. 2007. Spikoliguistik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Alisjahbana, St. Takdir; 1987. Tata Bahasa Baru Indonesia I. Jakarta, Dian Rakyat.
_______; 1980. Tata Bahasa Baru Indonesia II. Jakarta, Dian Rakyat.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
http://umarkhalid33sastra.blogspot.com/2010/05/dasar-dasar-linguistik-umum.htlm

Keraf, Gorys; 1981. Tata Bahasa Indonesia. Ende – Flores : Nusa Indah.

Parera, Jos Daniel; 1977a. Pengantar Linguistik Umum. Seri A. Kisah zaman :  
         Ende – Flores : Nusa indah.

 ____; 1977b. Pengantar Linguistik Umum. Seri B. Bidang Morfologi.
Ende –
          Flores : Nusa indah.

 ____; 1978. Pengantar Linguistik Umum. Seri C. Bidang Sintaksis. Ende – Flores
          : Nusa indah.

Pateda, Mansoer; 1981. Pengantar ke Bahasa Indonesia. Gorontalo : Viladan.

Hakikat Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang bisa berkembang dan berproduksi. Proses produksi manusia tidak hanya secara kuantitatif tapi juga harus secara kualitatif. Agar perkembangan manusia menjadi manusia itu manusiawi di butuhkan upaya humanisasi. Ada pendapat mengatakan bahwa salah satu upaya untuk memanusiakan manusia adalah melalui proses pendidikan.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, jadi dalam kehidupannya dia selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya. Upaya humanisasi manusia melalui proses pendidikan melibatkan banyak manusia lainnya. Di rumah yang berperan besar adalah orang tua. Di sekolah yang berperan besar adalah para guru, sedangkan di lingkungan masyarakat yang berperan dalam pendidikan adalah teman pergaulannya. Selain itu faktor individu juga berperan juga menentukan hasil dari upaya tersebut.
Perumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat kita merumuskan tentang:
1.      Pengertian hakikat pendidikan
2.      Pengertian pendidikan
3.      Apa itu  filosofi pendidikan nasional dan
4.      Bagaimana pula tujuan dari pendidikan!
1.2 Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan diatas adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana yang dimaksud dengan Hakikat Pendidikan?
  2. dan Bagaimana pula yang dimaksud dengan Pendidikan, Mendidik, dan di Didik?
  3. Apakah Tujuan dari Pendidikan!

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar kita semua dapat mengetahui Hakikat Pendidikan didalam dunia pendidikan dan bagaimana perkembangannya di dalam dunia pendidikan.

1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini dibuat berdasarkan Metode dan bahan yang telah diberikan oleh dosen, kemudian dipahami dan disusun dan mengambil kesimpulannya.

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 HAKEKAT PENDIDIKAN
Ketika kita mencari suatu hakekat maka kita akan mulai menyelami sebuah ontologi dalam filsafat. Dalam membicarakan pendidikan maka kita akan mengenal filsafat pendidikan yang dalam pembicaraan tentang filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari gagasan kita tentang manusia . Mencari hakekat pendidikan adalah menelusuri manusia itu sendiri sebagai bagaian pendidikan.
Melihat pendidikan dan prosesnya kepada manusia, sebetulnya pendidikan itu sendiri adalah sebagai suatu proses kemanusiaan dan pemanusiaan. Istilah kemanusiaan secara leksikal bermakna sifat-sifat manusia, berperilaku selayaknya perilaku normal manusia, atau bertindak dalam logika berpikir sebagai manusia. Pemanusiaan secara leksikal bermakna proses menjadikan manusia agar memeliki rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, manusia dalam makna seutuhnya. Artinya dia menjadi riil manusia yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara penuh sebagai manusia . Tugas pokok dan fungsi tersebut adalah sebagai mandataris Tuhan (khalifatullah fi al-Ardhi).
Sedangkan menurut Freire hakekat pendidikan adalah membebaskan. Freire mendobrak bahwa pendidikan haruslah mencermati realitas sosial. Pendidikan tidaklah dibatasi oleh metode dan tekhnik pengajaran bagi anak didik. Pendidikan untuk kebebasan ini tidak hanya sekedar dengan menggunakan proyektor dan kecanggihan sarana tekhnologi lainnya yang ditawarkan seseuatu kepada peserta didik yang berasal dari latar belakang apapun. Namun sebagai sebuah praksis sosial, pendidikan berupaya memberikan bantuan membebaskan manusia di dalam kehidupan objektif dari penindasan yang mencekik mereka . Hal senada juga di ungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan seharusnya memerdekakan, YB. Mangunwijaya yang beranggapan pendidikan haruslah berbasis realitas sosial.
Kata Latin untuk mendidik adalah educare yang berarti menarik keluar dari, dan ini boleh diartikan usaha pemuliaan. Kata educare memberi arah kepada pemuliaan manusia, atau pembentukan manusia . Dalam pengertian sederhana secara leksikal education (pendidikan) adalah suatu proses pembebasan untuk membuat manusia lebih manusiawi. Manusiawi berarti manusia yang lebih mulia, yang keluar dari ketertindasan dan kebodohan.

2.2 PENDIDIKAN
            Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah Subhanaha watta’alla dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
A. Konsepsi Pendidikan
Ada beberapa konsep dasar tentang pendidikan, yaitu:
ü      Pendidikan berlangsung seumur hidup (lifelong education).
ü      Keluarga, masyarakat dan pemerintah bertanggungjawab atas pendidikan.
ü      Pendidikan merupakan keharusan.
Pendidikan pada hakekatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Oleh karena itu pendidikan erat kaitannya dengan pengajaran dan pelatihan.
ü      Pendidikan   = kegiatan mengolah hati anak didik.
ü      Pengajaran   = kegiatan mengolah otak anak didik.
ü      Pelatihan      = kegiatan mengolah lidah dan tangan anak didik.
Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai usaha mentransformasikan nilai-nilai. Nilai-nilai yang akan ditransformasikan itu mencakup nilai-nilai religi, budaya, pengetahuan, teknologi dan keterampilan. Manusia perlu mendapatkan pendidikan karena:
ü      Manusia dilahirkan ke dunia dalam keadaan tidak berdaya.
ü      Manusia lahir tidak langsung dewasa.
ü      Manusia pada hakekatnya adalah mahkluk sosial.
ü      Manusia pada hakekatnya dapat dididik.
Oleh karena itu hanya manusia saja yang dapat memperoleh pendidikan.

  B. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.
Mendidik adalah membantu anak dengan sengaja (dengan jalan membimbing, membantu dan memberi pertolongan) agar ia menjadi manusia dewasa, susila, bertanggungjawab dan mandiri. Dewasa yang dimaksud adalah:
ü      dewasa pedagogis (menyadari dan mengenali diri sendiri atas tanggung jawab sendiri)
ü      dewasa biologis (mampu mengadakan keturunan)
ü      dewasa psikologis (fungsi kejiwaan telah matang)
ü      dewasa sosiologis (telah memenuhi syarat untuk hidup bersama yang telah ditentukan masyarakat)
Mendidik sering dimaknai sama dengan mengajar. Sebenarnya, makna mendidik lebih luas maknanya dibandingkan dengan mengajar. Mendidik dapat dilakukan dengan cara mengajar. Tetapi mengajar di dalam kelas, sebagai misal, tidak selalu sebagai proses untuk mendidik. Memang, mendidik dan mengajar sering dimaknai secara tumpang tindih. Seorang guru mengajar di dalam kelas dengan maksud untuk mendidik peserta didik.
Lebih dari itu, tingkah laku guru akan menjadi faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena tingkah laku guru akan menjadi suri teladan bagi murid-muridnya. Pepatah petitih masa lalu "guru kencing berdiri, murid kencing barlari" sangat tepat untuk menggambarkan tentang proses pendidikan dengan suri keteladanan ini. Bahkan kini pepatah petitih itu dipelesetkan menjadi "guru kencing berdiri, murid mengencingi gurunya".
Ilmu pendidikan diarahkan kepada perbuatan mendidik yang bertujuan. Tujuan itu ditentukan oleh nilai yang dijunjung tinggi oleh seseorang. Sedangkan nilai itu sendiri merupakan ukuran yang bersifat normatif, maka dapat kita tegaskan bahwa ilmu pendidikan adalah ilmu yang bersifat normatif.
Ilmu pendidikan juga memerlukan pemikiran teoritis, yaitu pemikiran yang disusun secara teratur dan sistematis. Suatu sistem terdiri atas komponen-komponen yang disebut sub-sistem. Sebagai suatu sub-sistem pendidikan dapat digambarkan sebagai berikut:

C. Unsur-Unsur Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
1.      Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.

2.      Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
3.            Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.

2.3 FILOSOFI PENDIDIKAN NASIONAL
            Pendidikan nasional adalah suatu sistem yang memuat teori praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat bangsa yang bersangkutan guna diabdikan kepada bangsa itu untuk merealisasikan cita-cita nasionalnya.
Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlanar mencapai cita-cita nasional Indonesia.
Filsafat pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa "Pancasila" yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan negara Indonesia.

2.4 TUJUAN PENDIDIKAN
Secara bahasa tujuan adalah arah, haluan, jurusan, maksud . Suatu contoh adalah ketika orangtua menyekolahkan anaknya agar menjadi cerdas dan berakhlaq, maka tujuan dia mendidik anaknya ke sekolah adalah untuk hal tersebut. Dalam skala yang lebih besar pendidikan diatur oleh pemerintah baik sistem maupun managemennya. Di indonesia berdasarkan undang-undang nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan mannusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan .
Contoh lain tujuan pendidikan yang dipegang oleh negara adalah konsep tujuan pendidikan di Amerika yang di keluarkan pada tahun 1989 juga. Mereka menggunakan, konsep "clear, concise, target" untuk menyusun tujuan pendidikan mereka. Dalam konsep ini adalah bahwa tujuan pendidikan itu harus jelas, ada kontroling dalam pelaksanaannya serta hasil yang akan dicapai dalam waktu tertentu. Ide tentang hal ini sebelumnya sudah dikritik sekali oleh Ivan Illich, dengan ide “de-sekolah-isasi masyarakat” , karena pendidikan di Amerika telah mengharuskan sekolah menjadi satu-satunya tempat belajar dan hanya kebanyakan melahirkan output akademik dengan biaya yang sangat mahal. Dalam bertahan hidup seseorang harus belajar dimanapun dan kapanpun dan tidak harus dalam kerangkeng bangku sekolah. Karena itulah Illich mengusulkan untuk bebas dari sekolah formal.
Pendidikan dimanapun dan kapanpun pada esensinya adalah sama.Hal ini di ungkapakan oleh Robert Maynard Hutchins yaitu bahwa :
Satu tujuan pendidikan adalah mengeluarkan unsur-unsur kemanusiaan yang sama dalam diri kita. Unsur unsur itu pada dasranya tidak berbeda meski tempat dan waktunya berlain-lainan. Jadi, anggapan bahwa manusia harus dididik untuk hidup di tempat atau di zaman tertentu, menyesuaikan manusia dengan lingkungan tertentu, adalah gagasan asing dan tidak sesuai dengan konsepsi pendidikan sejati.
Pendidikan mengisyaratkan pengajaran. Pengajaran mengisyaratkan pengetahuan. pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran, dimanapun, kapanpun, sama saja .
Pendidikan dapat dikatakan berhasil jika sudah mempunyai tujuan-tujuan yang jelas dan ditempuh dengan tindakan-tindakan yang jelas pula. Kalau boleh bicara jujur, sebenarnya pendidikan di Indonesia ini masih dapat dikatakan belum berhasil. Terbukti dengan semakin tingginya angka pengangguran di setiap tahunnya . Pada Tahun 2005 BPS mennjukkan bahwa pengangguran lulusan Perguruan Tinggi adalah 385.418, yaitu posisi kedua setelah lulusan SMA . Pada survey bulan Agustus 2007 menunjukkan kenaikan menjadi 963.779 .
Bila kita kembali kepada hakekat pendidikan maka pendidikan pada esensinya juga bertujuan untuk membantu manusia menemukan hakekat kemanusiaannya. Proses humanisasi ini adalah–meminjam istilah Freire- pembebasan. Pembebasan manusia dari belenggu stuktur sosila, hegemoni kekasaan, cara pikir yang salah, doktrin tertentu dan sebagainya.
 

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan hakikatnya tidaklah berbuntu pada tembok sekolah saja. Lebih luas lagi kehidupan adalah pendidikan itu sendiri. Kehidupan adalah suatu perguruan yang mahaluas. Segala sesutu yang kita temua adalah sang guru. Namun dalam kehidupannya manusia membuat rule agar pendidikan itu berjalan sistematis dan memenuhi harapan daripada tujuan pendidikan itu.

3.2 Saran
Dengan demikian diharapkan dari tulisan ini dapat mengisi keterpurukan pendidikan untuk kembali menggali dan menanamkan dasar-dasar pendidikan/ landasan dalam mendidik anak untuk bangkit dan kembali memperbaiki agar lebih baik agar citra bangsa ini membaik, tidak menjadi bangsa yang kasar, brutal, korup, biadab, menghalalkan segala cara, menginjak-injak hati nurani, menari-nari dan meraih sokses diatas penderitaan orang lain. Kembalil ke jalan yang lurus dan diridhai Allah SWT. Amin…


 
DAFTAR PUSTAKA


Landasan Pendidikan Konsep dan Aplikasinya/M. Sukarjo, Ukim Komarudin. –
d. –1, –1.–Jakarta Pers, 2009.

Pidarta Made, Landasan Kependidikan, Jakarta, Rineka Cipta, 1997 Hasbullah,
Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Edisi Revisi 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
pendidikan/

http://robiah.blogmalhikdua.com/2008/12/21/pengertian-dan-unsur-pendidikan/

Konsep dan Hakikat Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Tasawuf merupakan satu cabang ilmu keislaman yang sudah diakui kebenarannya. Dari segi penamaan, ia ternyata baru muncul dalam dunia Islam. Namun hakikatnya tasawuf itu sudahpun wujud di zaman Nabi s.a.w. dan lebih dikenali dengan nama ilmu ihsan, ilmu nafi`, ilmu batin atau ilmu di dalam hati (fi al-qalb). Nama tasawuf hanya mula muncul di zaman pengkelasan ilmu. Ilmu ini semakin hari semakin dipinggirkan, bahkan ia merupakan ilmu yang mula-mula akan pupus dari jiwa manusia. Mengenai ilmu ini `Ubadah bin Samit menjelaskan “sekiranya engkau ingin tahu, akan aku khabarkan kepadamu ilmu yang mula-mula diangkat dari manusia, yaitu al-khusyu`”. Tulisan ini akan menjelaskan mengenai ilmu tasawuf tersebut dengan memberikan tumpuan kepada konsep dan hakikat tasawuf dalam Islam.

1.2 Batasan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka muncul tugas penulis untuk menjelaskan lebih jauh tentang ilmu tasawuf.
Karenanya penulis memberikan batasan masalah atas perincian bab, yakni :
   1. Apa pengertian tasawuf ?
   2. Bagaimana Konsep dan Hakikat Tasawuf ?
 

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Tasawuf

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد

Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala.

2.2 Konsepi Tasawuf

              Konsepsi tasawuf menurut HAMKA adalah “tidak ingin,” dan “tidak demam” kepada dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat. Dengan demikian, maka seorang yang zahid adalah orang yang hatinya tidak terikat oleh materi. Ada atau tidak adanya materi adalah sama saja, stabil dalam kehidupannya. Namun tentu saja secara pisik tetap bergelimang dengan materi, karena ia sebagai makhluk yang mempunyai dua dimensi, rohani dan jasmani.
Dari paradigma di atas maka konsepsi tasawuf dapat menjawab permasalahan di atas. Yaitu dengan jalan meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai harta kekayaan produktif. Zuhud juga dapat melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat. Di samping itu, dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki) tawakkal (pasrah kepada Allah Swt.), wara’ yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat), sabar, yakni tabah menerima keadan dirinya baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya, syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.

2.3 Hakikat Tasawuf
           
            Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu  berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”
Kaum sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan” (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimplan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahawa tasawuf itu sebenarnya merupakan pencapaian martabat ihsan yang merupakan jiwa agama. Ia adalah satu dari tiga tunggak utama agama Islam. Pencapaian martabat ini bukan sahaja memperteguhkan hubungan seseorang itu dengan Tuhannya dalam bentuk peningkatan nilai keimanan, ibadah dan akhlak, malah juga hubungannya dengan sesama manusia dalam bentuk kewujudan rasa hormat menghormati, tanggungjawab dan keharmonisan muamalah.

3.2 Saran

Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia biasa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.



















DAFTAR PUSTAKA


Al-Kalabadzi, al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawuf (al-Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah, Cairo, 1969) h. 28

Ibrahim Basuni, Nasy’ah al-Tashawuf al-Islami, Juz III (Dar al-Maarif, Mesir, 1119), h. 9

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filasafat dan Tawawuf (Dirasah Islamiyah IV)(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 153














Sabtu, 10 Desember 2011

Makalah Sosiolinguistik "Bahasa dan Kelas Sosial"

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

            Bahasa merupakan alat komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan yang dipergunakan oleh individu maupun masyarakat. Tanpa ada bahasa berarti tidak ada masyarakat dan tidak ada pergaulan. Sifat-sifat masyarakat terutama dapat dipelajari dari bahasanya, yang memang menyatakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat tersebut (Kailani, 2001:76).
            Sumarsono dan Paina (2004:19) masyarakat itu terdiri dari individu-individu, secara keseluruhan individu saling mempengaruhi dan saling bergantung, maka bahasa yang sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa, dan tingkah laku bahasa individual dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat bahasa lain. Oleh karena itu, individu tetap terikat pada aturan permainan yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Bahasa berfungsi di tengah masyarakat dan berupaya menjelaskan kemampuan manusia menggunakan aturan-aturan berbahasa secara tepat dalam situasi-situasi yang bervariasi.
Manusia merupakan makhluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa.

B. Rumusan Masalah

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan mestilah selalu berinteraksi dengan sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya kepembagaian bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu status sosial.
Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.

                                                  


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kelas Sosial
Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang-orang yang berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial. Definisi ini memberitahukan bahwa dalam masyarakat terdapat orang-orang yang secara sendidi-sendidi atau bersama-sama memiliki kedudukan sosial yang kurang lebih sama. Mereka yang memiliki kedudukan kurang lebih sama akan berada pada suatu lapisan yang kurang lebih sama pula.
Kelas sosial didefinisikan sebagai pembagian anggota masyarakat ke dalam suatu hierarki status kelas yang berbeda sehingga para anggota setiap kelas secara relatif mempunyai status yang sama, dan para anggota kelas lainnya mempunyai status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kategori kelas sosial biasanya disusun dalam hierarki, yang berkisar dari status yang rendah sampai yang tinggi. Dengan demikian, para anggota kelas sosial tertentu merasa para anggota kelas sosial lainnya mempunyai status yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada mereka.

B. Hubungan Bahasa Dengan Konteks Sosial

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya berbagai bahasa di dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkannya berbeda dengan bahasa lainnya.
Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bahagian linguistik yang berhubung kait dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena masyarakat dan berhubung kait dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat (Antropologi) bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psychologi sosial”.
Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk meneroka alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah, sedih, gembira dan apresiasi.
Perkembangan bahasa yang selari dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot. Manusia tanpa komunikasi akan menjadi hampa. Bagaimana manusia berkomunikasi dan bersosialisasi satu sama lain jika tidak ada bahasa. Bahasa itu dinamis, maksudnya bahasa juga ikut berubah seiring dengan perubahan waktu.
  • Banjamin Lee Worf mengemukakan, bahwa manusia terkungkung oleh bahasa. Bahasa mempengaruhi pandangan hidup mereka. Mereka tidak dapat berpikir kecuali dalam bahasanya.
  • Sebenarnya pandangan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari pendapat guru Whorf, yakni Edward Sapir.
  • Sapir berpendapat bahwa masyarakat yang berbeda bahasanya boleh dikatakan hidup dalam dunia realitas yang berbeda, dalam arti bahwa bahasa mempengaruhi caraberpikir masyarakat.
  • Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi cara bagaimana masyarakat melihat dunia sekelilingnya. Pandanganmereka kemudian terkenal dengan nama Hipotesis Sapir-Whorf.
  • Hipotesis Sapir-Whorf mengatakan bahwa bahasa milik suatu bangsa menentukan pandangannya terhadap dunia dan lingkungan sekitarnya.

Namun pada kenyataannya, yang dapat diterima adalah sebaliknya, yaitu masyarakatlah yang mempengaruhi bahasa. Karena:
·         Banyak contoh yang menunjukkan bahwa lingkungan dalam suatu masyarakat dicerminkan dalam bahasanya, terutama dalam leksikonnya.
·         Penilaian yang diberikan masyarakat pada suatuhal dapat mempengaruhi bahasa. Hal ini dapat terlihat pada gejala bahasa yang tabu untuk dibicarakan

1. Keterkaitan bahasa dengan kelas sosial
Kelas Sosial adalah perbedaan hierarkis (stratifikasi) antara insan atau kelompok manusia dalammasyarakat atau budaya (wikipedia). Menurut Barger: kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi.
Kelas sosial (sosial class) mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Sebagai contoh:
  • Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.
  • Dan jika pula si A adalah seorang guru yang suaminya seorang pejabat. Jika dia seorang guru PNS, dia masuk ke dalam kelas pegawai negeri dan juga masuk ke dalam kelas istri pejabat. Ketika dia berkomunikasi dengan sesama PNS, bahasa yang digunakannya akan berbeda ketika dia berkomunikasi dengan teman-temannya sesama istri pejabat.

a. Ragam bahasa kelas sosial
            Khususnya Indonesia kelas sosial sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam bahasanya justru nonbaku. Salah satunya Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka. Contoh: akhiran –kan yang dilafalkan –ken.
Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.

b. Kelas sosial dan ragam baku
Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he, it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:
Ø  Kelas Menengah Tinggi (KMT)
Ø  Kelas Menengah Atas (KMA)
Ø  Kelas pekerja (buruh) menengah (KPM)
Ø  Kelas pekerja bawah (KPB)

c. Peranan Labov
Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York, berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari 340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi menggunakan metode pengukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.
Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.

2. Keterkaitan Bahasa dengan Komunikasi
Bahasa dengan komunikasai sangat berhubungan. Dalam setiap komunikasi bahasa ada dua pihak yang terlibat, yaitu pengirim pesan (sender) dan penerima pesan (receiver). Ujaran (berupa kalimat atau kalimat-kalimat) yang digunakan untuk menyampaikan pesan (berupa gagasan, pikiran, saran, dan sebagainya) itu disebut pesan. Dalam ini pesan tidak lain penbawa gagasan (pikiran, saran, dan sebagainya) yang disampaikan pengirim (penutur) kepada penerima (pendengar). Setiap proses komunikasi bahasa dimulai dengan si pengirim merimuskan terlebih dahulu yang ingin diujarkan dalam suatu kerangka gagasan. Proses ini dikenal sebagai istilah semantic encoding.
Ada dua macam komunikasi bahasa, yaitu komunikasi searah dan komunikasi dua arah. Dalam komunikasi searah, si pengirim tetap sebagai pengirim, dan si penerima tetap sebagai penerima. Misalnya, dealam komunikasi yang bersifat memberitahukan, khotbah di mesjid atau gereja, ceramah yang tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan, diskusi dan sebagainya.

Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:
Ø  Aspek linguistik
Ø  Aspek nonlinguistik atau paralinguistik
Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan, yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea tau konsep). Aspek paralinguistik mencakup:
Ø  Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara terputus-putus), dan sebagainya.
Ø  Unsur supra segmental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch), dan intonasi.
Ø  Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan,anggukan kepala, dan sebagainya.
Ø  Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).

Aspek linguistik dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.

3. Pengaruh bahasa dalam Ragam kelas Sosial
Perkembangan bahasa yang searah dengan perkembangan kehidupan manusia di abad modern menunjukkan fenomena yang berubah-ubah antara lain dengan penggunaan bahasa sebagai alat pergaulan tertentu yang dikenal dengan variasi bahasa seperti jargon dan argot.

Jargon
Dalam “Thesaurus: Oxford Thesaurus of English” oleh Maurice Waite (2004) dinyatakan bahwa jargon adalah bahasa khas, teknis, idiom tertentu, selanga dan lain sebagainya yaitu “specialized language, technical language, slang, cant, idiom, argot, patter, patois, vernacular, computerese, legalese, bureaucratese, journalese, psychobabble, unintelligible language, obscure language, gobbledegook, gibberish, double Dutch”.
Menurut “The Oxford Companion to the English Language” oleh Tom McArthur (1996) istilah jargon ini muncul pada abad ke-14 yang merupakan istilah Bahasa Inggris Abad Pertengahan (Midle English) yaitu ”iargo(u)n”, “gargoun”, “girgoun” yang berarti kicauan, nyanyian burung-burung, pembicaraan yang tidak bermakna, merepet /membual ata mericau.
Jargon ini juga terdapat dalam istilah Bahasa Perancis yaitu “jargoun”, “gargon” dan “gergon”. Kemungkinan makna asalnya yaitu bunyi “echo” dan merupakan istilah umum yang seringkali mengacu kepada bahasa asing pedalaman yang bermacam-macam. Hal itu dapat ditemukan dalam ucapan yang dirasakan sebagai merepet atau ucapan-ucapan kosong (mumbo jumbo), slang, bahasa pidgin atau bahasa khas dalam perdagangan, profesi atau kelompok lainnya.
Namun demikian, istilah ini juga sering dihubungkaitkan dengan ilmu tertentu seperti hukum dan perundang-undangan, kedokteran dan ilmu pengetahuan yang merupakan jargon teknis maupun jargon saintifik.
Bagi kelompok yang tidak professional maupun tidak berprofesi, penggunaan bahasanya dinilai penuh dengan istilah maupun kalimat yang tidak seperti bahasa umumnya sehingga sulit dipahami oleh orang kebanyakan. Namun bagi anggota kelompok professional tersebut, penggunaan istilah itu sangat akrab dan mencapai matlamat yang sesungguhnya. Karena faktor kemudahan dan keakrabannya inilah, jargon dapat menggungkapkan teknis dan gaya yang menjadi ciri khas dalam kelompok tersebut.




BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
            Kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dsb. Kasta merupakan sejenis kelas sosial yang bersifat tertutup, sedangkan kelas sosial lain bersifat terbuka dan memungkinkan adanya mobilitas sosial. Tidak menutup kemungkinan seorang individu memiliki lebih dari satu status sosial. Perbedaan antarkelompok masyarakat tercermin dalam ragam bahasa yang digunakan. Berbeda dari ragam bahasa dialek regional yang salah satunya ditandai oleh batas daerah, tanda dalam ragam bahasa kelas sosial adalah penggunanya. Sehingga dalam sebuah ragam bahasa dialek regional kadang masih terdapat ragam bahasa kelas sosial jika ditilik dari penggunanya.
            Labov, dalam penelitiannya membuktikan bahwa seseorang individu dari kelas sosial tertentu, umur tertentu, jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bentuk tertentu sekian kali dalam suatu situasi tertentu. Selanjutnya Bernstein mengemukakan anggapan dasar tentang dua ragam bahasa penutur yang disebut kode terurai/elaborated code (cenderung digunakan dalam situasi formal) dan kode terbatas/restricted code (cenderung digunakan dalam situasi informal). Karena pada proses pendidikan kode terurai lebih sering digunakan, penutur yang terbiasa menggunakan kode terbatas (contohnya kelas buruh) akan mengalami kesulitan dan berpengaruh pada daya kognisi (atau hasil belajar).
            Ketika Sapir-Whorf menyatakan “pandangan manusia tentang lingkungannya dapat ditentukan oleh bahasanya”, pendapat ini mendapat beberapa bukti sanggahan yaitu: lingkungan fisik tempat suatu masyarakat hidup dapat dicerminkan dalam bahasanya; lingkungan sosial dapat juga dicerminkan dalam bahasa dan sering dapat berpengaruh pada struktur kosakata; adanya lapisan-lapisan masyarakat feodal dan kasta yang menimbulkan pengaruh dalam bahasa; di samping lingkungan dan struktur sosial, nilai-nilai masyarakat dapat pula berpengaruh pada bahasa masyarakat itu. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah masyarakat kelas menengah-ke bawah yang terdiri dari berbagai kalangan, antara lain pedagang, pekerja, buruh, pegawai kelas rendahan. Dalam masyarakat juga sering ditemukan pembedaan terhadap kaum terdidik (orang-orang yang menempuh pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi) dan tidak terdidik (umumnya hanya mengenyam pendidikan hingga jenjang pendidikan SD—SMP) yang menjadi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ragam umum dalam percakapan sehari-hari. Seperti yang kita ketahui bahwa biasanya kosa kata dalam ragam umum sangat sedikit mengandung ragam baku. Dalam buku ini disebutkan bahwa semakin rendah kelas sosialnya, semakin banyak pemakaian bentuk nonbaku.
            Gejala lain yang timbul adalah bahasa Jawa mengenal tiga tingkat berbahasa yang penggunaannya berdasarkan pada siapa lawan bicara kita. Tingkatan berbahasa tersebut tidak membedakan kela sosial penggunanya. Meskipun demikian, dalam masyarakat Jawa sering dikenal pembagian golongan menjadi priyayi hingga kaum rendahan (dilihat dari sisi kedudukannya dalam masyarakat), selain itu dikenal pula kaum abangan dan kaum santri (dilihat dari sisi keagamaan), tiap golongan memiliki kosa kata khusus yang jarang digunakan oleh golongan lain dan tidak dapat dipungkiri bahwa kata-kata tertentu bisa menggambarkan sistem kepercayaan dan sistem nilai tata krama penuturnya.

B. Saran
Setelah penjelasan dalam makalah ini, sebagai manusia bisa penulis memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau penyimpangan-penyimpangannya. Penulis menerima saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya. Atas segala pengertiannya penulis mengucapkan terimaksih.
                                      


DAFTAR PUSTAKA



Mata Kuliah Sosiolinguistik, Universitas Pendidikan Indonesia Alwasiah, A Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung:Angkasa

Badudu, J.S.1989. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: PT. Gramedia  Pateda, Mansyur.1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa

Chaer, Abdul. 1980. Sosiolinguistik :Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Balai Pustaka.

Sumarsono & Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta